#1 angan

Priscilla Anastasya
3 min readFeb 1, 2024

--

(pertama kali menulis pake bahasa indonesia, maaf kalau sedikit aneh ya)

Disclaimer:
Akhir-akhir ini aku merasa sedikit emotionally constipated — tidak dapat memproses dan menindaklanjuti perasaanku sendiri. Seorang teman baikku, Rakean, menyarankanku untuk menuliskan apa yang aku rasakan. Jadi aku akan mulai menulis secara rutin tahun ini setiap ada inconveniences yang aku rasakan :’D

— — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — — —

Aku selalu berpikir kalau aku adalah orang yang resilien terhadap perubahan. Semua hal yang terjadi di lingkunganku bersifat dinamis, mulai dari orangtua liburan ke luar kota secara spontan, kelas yang tiba-tiba berubah dosennya, berpindah tempat magang, sampai harus ganti gebetan.

Aku mudah move on, tidak terlalu memikirkan hal-hal yang berubah secara cepat, apalagi untuk hal yang di luar kuasaku. Aku selalu memegang prinsip bahwa:

“Everything happens at the right time for the right reasons”

Yaudahlah, jadi salah satu kata yang paling aku katakan ke teman-teman dan juga diriku sendiri. Aku selalu percaya kalau semua hal itu harus terjadi meskipun mungkin aku masih belum tahu alasannya.

Walaupun begitu, akhir-akhir ini aku merasa kalau aku sedang gagal memegang prinsip itu. Aku terus bertanya-tanya “Mengapa?”. Ini cukup aneh karena biasanya, aku cukup meng-embrace perubahan yang terjadi.

Aku percaya bahwa setiap perubahan akan membawa kebaikan meskipun sekarang tampaknya buruk, pasti ada suatu rahasia Ilahi yang Tuhan sembunyikan yang diriku ini tidak bisa pahami.

Tapi? What’s with the recent attitude change?

Aku juga belum tahu apa yang membuat kali ini berbeda. Aku rasa aku jatuh cinta dengan salah satu temanku. Lho, apa salahnya jatuh cinta dengan temanmu sendiri — you might ask. Ya karena dia punya agama yang sangat berbeda dariku.

Kucing yang Kami Temui saat Makan Siang Bersama

Semester lalu, secara tidak terduga, aku menjadi dekat dengan salah satu teman karena kerja kelompok. Awalnya, kami hanya bertemu dalam kapasitas akademik, tapi lama kelamaan pertemuan itu berubah menjadi pertemanan yang cukup dekat. Kami bertemu setiap hari dan pertemuan-pertemuan itu selalu menyenangkan (setidaknya untukku). Aku merasa sangat nyaman, ada saja yang kami obrolkan. Pun kami diam-diam saja, aku tetap merasa nyaman dalam keheningan itu.

Kami sudah berada di lingkungan yang sama sejak tahun pertama, tapi kami tidak menggubris kehadiran masing-masing. Aku pernah bertanya padanya, apakah dia pernah menyangka kalau kami akan dekat? Dia bilang tidak karena memang kelompok pertemanan kami sangatlah berbeda.

He’s a pleasant surprise in my last year of college.

Meskipun agamanya berbeda dariku, entah mengapa aku tidak pernah merasa bersalah saat berada dekatnya. Aku tahu, berada dekatnya untuk saat yang lama hanya akan membawa rasa sakit kepada kami berdua. Kalau hubungan ini dilanjutkan atau diberi suatu label, kami tidak bisa lanjut ke tahap serius.

Kami saat Melakukan Hal yang Kami Sangat Gemari, yaitu Makan

Perlahan-lahan, kami menjauh, dan aku pikir ya mungkin ini memang yang terbaik. Tapi seperti yang kubilang sebelumnya, aku adalah orang yang mudah sekali move on, tapi entah kenapa sulit sekali rasanya saat ini.

Setelah berpikir, muncul beberapa kemungkinan mengapa hal ini terjadi.

  1. Perasaan kami yang belum dinyatakan secara gamblang
  2. Menjauh tanpa suatu alasan yang jelas

Ya intinya, ga ada closure kalau kata generasiku. Tapi ya kalau mau diobrolin dan perasaannya dinyatakan lalu apa? Buat apa mencoba? Hal seperti ini hanya menunda kesedihan yang niscaya datang. Tetap saja, batinku merasakan dilema yang besar.

Sekarang, aku hanya bisa berangan-angan “Gimana ya kalau dunia ini tanpa batas? Apa kami bisa bersama sekarang?”. Seringkali aku masih membayangkan kalau kami bersama — traveling together, lulus bersama, dan menemui satu sama lain setiap pulang kerja. Tapi ya realitanya dunia ini selalu ada batasnya dan kami tidak akan pernah bisa bersama.

Mau ada closure atau pun tidak, aku harus menerima itu. Aku harus menutup buku ini dan bergegas membuka buku yang baru, entah apapun itu nanti genrenya.

Tapi, izinkan aku sekarang masih nyaman dengan anganku di dunia tanpa batas itu.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Priscilla Anastasya
Priscilla Anastasya

Written by Priscilla Anastasya

compilation of thoughts i can’t articulate while talking.

Responses (1)

Write a response